Opini: Riwayat 101 Tahun Jalur KA Babat–Merakurak

 



1 Agustus 2021, tepat 101 tahun jalur kereta api Babat–Tuban–Merakurak resmi dibuka untuk layanan umum oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Jalur kereta api sepanjang 47 km ini disebut-sebut berhasil memecahkan masalah keterisolasian wilayah. 

Pada masa tersebut, kondisi jalanan masih sempit dan tentunya tidak mulus. Dari Tuban menuju Babat hanya satu jalan utama dengan beberapa jalan alternatif. Untuk menyebrang Sungai Bengawan Solo pun harus menggunakan rakit sebab tidak ada jembatan sama sekali. 

Masalah distribusi dengan sarana dan prasarana transportasi yang terbatas selalu menjadi salah satu penghambat utama kemajuan ekonomi. 

Baca Artikel: Nostalgia KA Bangunkarta yang Dulunya Bernama Tebuireng

Kertas imbauan di Stasiun Palang yang masih ada hingga sekarang/Dok: Firdaus Cahya


Residen Rembang, Gongrijp selalu memperjuangkan keberadaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai di wilayahnya, terutama kereta api. Beliau ingin wilayah Tuban dan sekitarnya mendapatkan kemudahan bermobilisasi. 

Usulan-usulan beliau selalu didebatkan, entah di Tweede Kamer maupun Eerste Kamer. Para pejabat tinggi menganggap Tuban sebagai daerah yang miskin. Akankah dengan kondisi demikian, kereta dapat mengatasinya? Apakah akan untung atau malah cepat merugi? Perdebatan seperti ini lazim terdengar tatkala para pemimpin daerah mengusulkan pembangunan jalur kereta api di wilayahnya. 

Dalam pengusulan permohonan hak konsesi pun demikian, investor-investor yang berdatangan selalu gagal. Kebanyakan masalah akan muncul ketika mereka terkendala modal. Pihak pemerintahan tidak akan mengabulkan permohonan jika tidak bisa menjamin kembali ke titik impas dan tidak untuk layanan umum. 

Baca Artikel: Rel Kereta Api Pelabuhan Tanjung Perak Direaktivasi, Berikut Sejarahnya

Peron dan papan nama Stasiun Plumpang/Dok: Firdaus Cahya


Jika suatu permohonan hak konsesi disetujui, maka pemegang hak harus segera memetakan lahan dan segera menyetorkan hasilnya kepada pemerintah untuk kemudian dibebaskan lahannya. Pemegang hak konsesi harus mengganti biaya pembebasan lahan kepada pemerintah, dan berhak atas lahan tersebut sepanjang waktu hak konsesi. Jika lama waktu hak konsesi habis atau pemegang konsesi bangkrut, maka lahan otomatis akan kembali ke pangkuan negara karena telah dibebaskan dan bekas pemegang konsesi tidak berhak lagi. 

Hak pemegang konsesi atas jalur kereta api Babat–Tuban–Merakurak diberikan kepada NISM pada tahun 1913. Selain hak atas jalur ini, NISM juga memperoleh hak konsesi atas jalur Bojonegoro–Jatirogo, Gresik–Kandangan, Ngabean–Pundong, dan beberapa jalur lain. Semula, NISM mengajukan hak untuk Babat–Tuban–Merakurak–Jenu, hak dikabulkan. Namun, masalah muncul di tengah jalan ketika NISM memandang daerah Jenu tidak cocok untuk dijadikan terminus (ujung jalur), sehingga kemudian dipilihlah Merakurak sebagai terminus. 

Dalam proses pembangunannya, NISM juga merenovasi Stasiun Babat dari yang semula semi permanen menjadi permanen. Suratkabar Algemeen Handelsblad tanggal 14 Januari 1914 juga telah memberitakan bahwa Stasiun Babat akan direnovasi dengan pandangan untuk meningkatkan kelancaran mobilisasi penumpang dan distribusi barang, serta juga dengan tujuan untuk persiapan pembangunan jalur cabang menuju Tuban. 

Baca Artikel: Asal Usul Proyek Kereta Api Pertama di Sulawesi

Stasiun Palang Sebelah kiri adalah emplasemennya/Dok: Firdaus Cahya


Pembukaan jalur kereta api Babat–Merakurak dilangsungkan dalam tiga sesi. Sesi pertama untuk lintas Babat–Plumpang pada 5 Oktober 1919, kemudian Plumpang–Tuban pada 1 Desember 1919 dan Tuban–Merakurak pada 1 Agustus 1920. 

Semua tanggal pembukaannya benar tergantung sudut pandang mana yang digunakan. Jika total (Babat–Merakurak), maka dibuka per 1 Agustus 1920, lain halnya jika memandangnya menjadi tiga sesi itu tadi. 

Dalam sehari pada tahun 1926 dan 1931, terdapat 12 kereta api lokal stamformasi kereta kelas 2-3-1 melintas di jalur ini. Kemudian terdapat 7 kereta api lokal dengan stamformasi sama, dan pada 1935 terdapat 9 kereta api lokal dengan stamformasi yang sama. 

Baca Artikel: Dibangun Zaman Belanda, Rel Kereta Banyak 'Mati' di Era Orde Baru

Bekas formasi jembatan KA di dekat Stasiun Merakurak/Dok: Firdaus Cahya


Pada tahun 1935, hanya ada 2 kereta api lokal yang melintas (satu kali pp) di Lintas Tuban–Merakurak. Pada tahun tersebut juga Lintas Tuban–Merakurak ditutup, tepatnya pada 1 November 1935, alasannya NISM menderita kerugian atas operasional lintas ini sekalipun telah terjadi pengurangan jadwal perjalanan kereta api hanya menjadi satu kali pp. Meskipun demikian, para petinggi NISM masih menaruh perhatian supaya kelak Lintas Tuban–Merakurak dapat diaktifkan kembali, entah kapan. 

Pada April 1942, salah seorang pegawai NISM bernama B.W. Colenbrander sempat mendokumentasikan situasi Jembatan KA Cincim. Hasil jepretannya menampakan kondisi rangka baja jembatan ini telah rusak parah dan roboh. Dalam keterangannya, beliau menyebut bahwa tentara KNIL telah mengebom jembatan ini pada Maret 1942, sebagai dampak atas kedatangan Jepang. 

Pasca-peristiwa ini, Jepang merekonstruksi jembatan dengan memperbaiki pilar dan mengganti rangka jembatan. Mulanya jembatan ini memiliki rangka kurung, tetapi akibat rangka kurung ini sedikit yang masih layak. 

Baca Artikel: Mengenang Tragedi Cirahayu, 24 Oktober 1995

Halte Kepet dari sisi utara/Dok: Firdaus Cahya


Jepang kemudian mempertahankan yang masih layak dan mengganti sebagian  menjadi rangka setengah cincin untuk sisi utara dan selatan, sementara sisi tengah diisi dengan rangka kurung. Jepang juga membangun pilar baru yang berbeda dengan pilar lama pada salah satu pilar ditepi utara. Konstruksi baja bertulang menjadikannya berbeda dengan pilar lainnya. 

Kemudian pada masa agresi militer 2, Belanda mendarat di Pantai Glondong, Tuban. Mereka hendak bertolak ke Cepu dan kota-kota lain di jatim. Pasukan pecah menjadi dua, satu ke cepu satunya lagi ke Tuban lanjut Babat, Lamongan, Jombang, dan sekitarnya. Pada saat itu para pejuang berencana mengebom Jembatan Cincim untuk menghambat Belanda dari utara. Namun, langkah pejuang didahului oleh belanda, akibatnya Jembatan Cincim dapat dikuasai belanda tanpa perlawanan.

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Lintas Plumpang–Tuban dibongkar Jepang pada tahun 1942. Lintas tersebut dianggap kurang produktif, di samping itu Jepang juga hendak membangun jalur-jalur kereta api baru, seperti di Myanmar, Banten, Riau, dan Cicalengka. 

Baca Artikel: Tragedi Gerbong Maut Bondowoso: Sejarah Kelam Perkeretaapian Masa Agresi Militer Belanda

Foto jepretan pegawai NISM B.W. Colenbrander soal hancurnya Jembatan Cincim/Dok: Beeldbankwo2


Jalur-jalur tersebut kelak dijuluki sebagai jalur kereta api maut, sebab mengorbankan tenaga kerja dari romusa yang sangat banyak. Kemungkinan besar, pembongkaran rel di Lintas Plumpang–Tuban dilaksanakan pasca-rekonstruksi Jembatan Cincim

Hal ini dapat ditilik dari jumlah prasarana yang ada pada masa tersebut. Jembatan Cincim merupakan jembatan dengan fungsi multimoda dan juga satu-satunya jembatan yang ada di sekitar daerah Babat, Widang, Rengel, dan sekitarnya. Bahkan hingga dekade 1970-an ketika jalur kereta apinya masih aktif, jembatan ini masih multimoda untuk pejalan kaki, roda 2, roda 4, truk kecil, dan tentunya KA itu sendiri. Jembatan baru khusus jalan raya baru dibangun beberapa saat setelahnya berjarak 2 km sebelah timurnya. 

Pada masa awal kemerdekaan, DKARI dengan dibantu warga setempat berhasil mereaktivasi Lintas Plumpang–Tuban, tidak sampai Merakurak. Pasca-masa ini, pada dekade 1950-an, okupansi penumpang dan barang di Jalur kereta api Babat–Tuban semakin berkembang. 

Baca Artikel: Harapan Baru, Kereta Api di Sumatera Barat (bagian I)

Jembatan Cincim setelah direnovasi Jepang/Dok: maritiemdigitaal.nl


Dalam kurun waktu antara 1950 hingga 1953, Stasiun Plumpang yang bengunannya lebih kecil dan sederhana daripada Stasiun Tuban ternyata menjadi stasiun teramai baik sektor dalam barang maupun penumpang, bahkan jumlah penumpang pada 1950 mencapai 882.005 orang. Jumlah ini sangat berbanding jauh dengan Stasiun Tuban dan Stasiun Pesantren yang pada tahun tersebut masing-masing berjumlah 143.330 orang dan 18.194 orang. 

Menginjak dekade 1970-1980-an, situasi jalur kereta api ini kian memburuk. Pada dekade ini PJKA mengalami kebocoran pendapatan yang luar biasa. Penyebab utamanya bukan karena sepinya okupansi, melainkan akibat minimnya pendapatan itu sendiri. 

Kondisi demikian jamak terjadi pada masa tersebut, okupansi penumpang ramai, tetapi yang bayar tiket sedikit. Bahkan sampai ada lagu yang bisa dibilang antara melazimkan atau menyindir perilaku ini. Dengan lirik, "Bolehlah naik dengan percuma.", saya yakin semua pasti paham apa maksud dari lirik ini. 

Baca Artikel: Mengintip Asal Usul Kereta Api di Indonesia Versi Harian De Locomotief

2 pejuang sedang berfoto di Jembatan Cincim/Dok: Buku Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe)


Bahkan hingga saat ini di Stasiun Pesantren masih tertempel kertas himbauan kepada penumpang agar mau membayar tiket. Fenomena ini juga diperparah dengan aksi penggelapan uang tiket dari oknum-oknum pegawai kereta api. Pada dekade ini pula sempat terjadi perubahan nama pada salah satu stasiunnya. 

Nama Stasiun Pesantren diubah menjadi Stasiun Palang, singkatannya turut berubah dari PSN menjadi PAG, perubahan ini ditengarai akibat permasalahan nama stasiun dan lokasi stasiun, akibat memiliki nama sama dengan Stasiun Pesantren di Kediri, akibatnya rawan terjadi miskomunikasi. 

Jalur kereta api Babat–Tuban menemui ajalnya pada 5 Februari 1990. Pada tahun tersebut PJKA memutuskan untuk menutup jalur kereta api ini dengan alasan kurang produktif, sehingga merugikan perusahaan. 

Baca Artikel: Kisah Di Balik Adanya Kereta Rel Listrik Pertama di Indonesia

Halte Kepet terbuat dari kayu/Dok: Firdaus Cahya


Tujuh tahun berselang terdapat rencana reaktivasi jalur kereta api ini. Pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan tengah merencanakan studi untuk Detail Engineering Design (DED) peningkatan jembatan KA lintas Babat–Tuban dan pembangunan jalur baru Tuban–Merakurak. Rencana reaktivasi jalur kereta api ini tertunda akibat krisis ekonomi dan terhenti total setelah lengsernya Presiden Soeharto. 

Opini saya yang juga warga Tuban, kemungkinan, rencana reaktivasi tersebut disiapkan untuk mendukung kelancaran distribusi barang dari PT Semen Gresik (kini PT Semen Indonesia). Hal ini terjadi mengingat pada masa tersebut PT Semen Gresik membangun pabrik baru di Kec. Kerek, Kab. Tuban (barat Merakurak) yang kaya akan batuan kapur sebagai bahan baku utama. 

Wacana reaktivasi kembali menggaung pada tahun 2009. Pada tahun tersebut terdapat rencana DED pembangunan Jalur KA Babat–Tuban untuk angkutan semen. Wacana kembali berlanjut pada tahun 2013, pada tahun ini PT Kereta Api Indonesia (KAI) sepertinya sangat serius mereaktivasi, bahkan sampai mengumumkan pendaftaran lelang DED jalur ini di website eproc-nya. Hingga 2016, wacana angkutan semen ini masih ramai. 

Baca Artikel: Inisiasi Belanda Membangun Rel Sampai Dermaga Pelabuhan Tanjung Priok

Stasiun Tuban/Dok: Firdaus Cahya


Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo mengesahkan Perpres No. 80 Tahun 2019, yang berisi tentang rencana program-program pemerataan pembangunan infrastruktur di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Tuban termasuk salah satu daerah yang mendapatkan prioritas utama, sebab Tuban menjadi lokasi bagi pembangunan kilang minyak yang digadang-gadang kelak terbesar di Indonesia. 

Saat ini progresnya telah sampai pada pengurukan tanah dan reklamasi pantai. Supaya mendukung kelancaran distribusi minyak, Perpres No. 80 Tahun 2019 juga menyebutkan rencana pembangunan Jalan Lingkar Tuban dan reaktivasi Jalur kereta api Babat–Merakurak + pembangunan jalur baru Merakurak–Jenu, dikarenakan kilang minyak akan segera dibangun di pesisir pantai Kec. Jenu.

Pada 20 Juni 2021 dalam acara pelantikan bupati dan wakil bupati Tuban bertempat di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Gubernur Jatim Khofifah menyampaikan rencana reaktivasi Jalur KA Babat–Merakurak dan jalur baru Merakurak–Jenu sesuai yang tertera dalam Perpres No. 80 Tahun 2019 untuk mendukung kilang minyak. 

Baca Artikel: Cerita ‘Atapers’ Sang Penumpang Atap Kereta

Namun, hal ini ternyata bertolak belakang dengan program Pemkab Tuban pasca pelantikan bupati dan wakil bupati. Ketika Kementerian Perhubungan memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengusulkan trase jalur berbeda dalam rapat koordinasi rencana Reaktivasi Jalur KA Semarang–Rembang–Bojonegoro dengan dinas perhubungan daerah yang dilintasi rel, pihak Dinas Perhubungan Tuban mengusulkan rencana pembangunan jalur cabang (baru) menuju Kilang Minyak Tuban di Kec. Jenu dengan trase lewat Jatirogo–Bancar–Tambakboyo–Jenu. Pemilihan trase ini tentu berbeda dengan dengan perencanaan provinsi bahkan pusat melalui perpres. 

Informasi terbaru dari Jawa Pos Radar Tuban pada 28 Juli 2021 mengabarkan bahwa Kemenhub telah menyetujui usulan Dishub Tuban. Dengan demikian, maka potensi reaktivasi Jalur KA Babat–Merakurak menjadi sangat kecil. Jika jalur KA dimulai dari Jatirogo lanjut Bancar, Tambakboyo, dan Jenu, tentu akan berat di pembebasan lahan. 

Negara berhak membeli lahan untuk kepentingan umum, tetapi pemilik juga berhak memilih harga, situasi seperti ini umumnya memakan waktu bertahun-tahun, belum nanti biaya pembangunan yang juga besar. Padahal, negara melalui PT KAI telah memiliki lahan dari Babat sampai Merakurak sepanjang 47 km, dan hanya butuh pembebasan lahan baru sekitar 10 km ke arah utara menuju Jenu. Permasalahan lazim dari jalur KA non-aktif ada pada pertumbuhan dinding baik permanen maupun semi permanen, cukup itu saja. 

Tentang Penulis:


Firdaus Cahya Firnanda, Railfan, asal Tuban, Jatim.

Wiji Nurhayat

Wiji Nurhayat - Blogger yang menyukai perkembangan perkeretaapian di Indonesia, maniak trading & investasi, serta badminton lover.

1 Komentar

Thanks for reading! Suka dengan artikel ini? Please link back artikel ini dengan sharing buttons di atas. Thank you.

Lebih baru Lebih lama