Harapan Baru, Kereta Api di Sumatera Barat (bagian I)



Kembali dengan cerita sejarah kereta api di bumi yang Indonesia yang indah ini. Tidak salah bila dahulu Indonesia dikatakan banyak orang Belanda dengan sebutan Indische tjantik. Penilaian ini wajar bila melihat keindahan dan kemolekan alam Indonesia terutama saat menaiki kereta api.

Kali ini, bertepatan tanggal 10 November 2015 atau Hari Pahlawan, saya ingin berbagi kisah tentang sejarah kereta api di Sumatra Barat. Berbagai sumber arsip Belanda seperti Verslag, Besluit maupun Staatsblad banyak mengisahkan cerita tentang sejarah pembangunan dan pengoperasian kereta api di Sumatra Barat. Proyek ini digagas oleh SSS (Sumatra's Staatsspoorwegen) atau sebuah perusahaan kereta api milik negara. Namun perlu diingat, dasar pembangunan proyek kereta api di Sumatra Barat disebabkan karena penemuan 'emas hitam' alias batu bara. 

Karena ceritanya panjang, maka akan saya tampilkan cerita berseri. Berikut saya tampilkan cerita singkat bagian pertama sejarah perkeretaapian di Sumatra Barat ! 

Keberadaan Perkeretaapian di Sumatera Barat (Sumatra’s West Kust) tidak terlepas dari kebijakan ekonomi regional pemerintah Kolonial Belanda di Sumatera Barat pada abad ke-19. Dimulai pada tahun 1870, ketika transportasi saat itu dianggap tidak memadai dalam mendukung perekonomian di Sumatra Barat. Apalagi ditambah dengan penemuan batubara di Pegunungan Padang tepatnya di hulu Sungai Ombilin.

Seorang Ahli Tambang Belanda Ir.Willem Hendrik (WH) de Greeve menyatakan pembangunan jalur kereta api mendesak dan harus segera direalisasikan. De Greeve dikenal sebagai putra dari ‘negeri raja’, Franeker Belanda. Datang ke Hindia Belanda mengemban tugas penyelidikan dan penelitian berbagai kandungan mineral bahan tambang. 
Foto De Greeve/sumber buku dalam buku Jejak de Greve Dalam Kenangan Sawahlunto
Ia menapakkan kaki di Ombilin Sawahlunto dalam penelitian batubara. Dialah aktor utama yang menguak ‘emas hitam’ atau batubara. Kekayaan  sumber daya energi itu banyak tersimpan di bumi Sawahlunto. De Greeve, si jenius yang mengabdikan diri kepada bangsa sepenuh  jiwa raga. Usaha dan kerja kerasnya dalam pencarian batubara Sawahlunto diawali dengan menghiliri sungai Ombilin hingga Sawahlunto dan Sijunjung di Sumatera Barat. 

Rencana De Greeve adalah bila pembangunan jalur kereta api menyisir dari timur ke barat, melewati tambang batubara. Tentunya rencana ini membuat sedikit tekanan bagi pemerintah kolonal Belanda terutama saat mengalokasikan biaya investasi pembangunan yang dlakukan pada tahun 1873. Dalam perkembangannya, ketika dana tersebut telah disetujui oleh legislator anggaran (Besluit van 10 Januari 1873 No 18 en 17 Februari 1873 No 24), tindakan pertama yang pemerintah lakukan adalah membentuk sebuah tim yang diawasi langsung oleh Gubernur Jenderal. Kemudian Mr JL Cluysenaer yang dikenal sebagai seorang mantan insinyur di pembangunan Kereta Api Negara di Belanda beserta lima insinyur dan tujuh pengawas ditunjuk untuk merencanakan sekaligus membangun jalur kereta api tersebut. Hal ini sesuai dengan besluit/surat keputusan No. 42 tanggal 9 Mei 1873. Secara umum, pemerintah kolonial Belanda beralasan pembangunan jalur kereta api di Sumatra diperlukan untuk meningkatkan arus transportasi khususnya di Pantai Barat Sumatra. Kemudian alasan lain dibangunnya jalur kereta api di barat Sumatra adalah untuk mendukung transportasi batubara di Dataran Tinggi Padang dan kota-kota pesisir lainnya.

Segera setelah itu pada tahun 1875, Mr JL Cluysenaer memainkan peran utama membuat kajian kemunginan jalur kereta api batubara bisa dibangun. Pada tanggal 23 September 1875, ia mengeluarkan sebuah laporan komprehensif yang kemudian baru diterbitkan pada tahun 1876 dan bentuk sebuah buku. Dalam laporan tersebut dijelaskan bila jalur yang menghubungkan Soebang dengan Troessanbaai dan Brandewijnsbaal segera akan dibahas. Setelah itu, ia akhirnya memutuskan pembangunan jalur kereta api yang terlebih dahulu dikerjakan adalah dari Soebang menuju ke tempat terakhir yaitu Padang.

Rumah batubara Ombilin tahun 1935/KITLV
Kemudian dalam kajiannya juga disebutkan, selain pembangunan jalur kereta api juga diperlukan pembangunan fasilitas pelabuhan baru. Sehingga Cluysenaer memperkirakan, proyek ini memakan biaya yang tidak sedikit yaitu tidak kurang dari F 25 juta. Bila proyek ini terwujud, maka ini akan menjadi satu prestasi bagi pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah membayangkan bila proyek kereta api ini selesai maka akan terdengar suara hetschel dari peluit uap untuk pertama kalinya di tengah hutan dan dinding gunung. Sumatera yang baru akan lahir di pagi hari. Hal ini terjadi dengan dibangunnya sebuah proyek yang dinamakan kereta api.

Tidak hanya itu, Cluysenaer juga melaporkan hasil kajian ke 2 dari apa yang sudah dia teliti. Dalam laporannya yang kedua, Maret 1876 (laporan diterbitkan tahun 1878 oleh pemerintah dalam bentuk buku) disebutkan Cluysenaer mengajukan pembangunan jalur kereta api lainnya di Dataran Tinggi Padang. Kesimpulannya bahwa pembangunan jalur kereta api di derah pegunungan bisa dilakukan dengan menghubungkan kereta api batubara dekat dengan Sawah Lawas. Pembangunan ini diperkirakan menghabiskan dana tidak kurang F 9 juta. Lalu dalam laporan ketiga Cluysenaer juga disebutkan pembangunan kereta api dimulai dari rute yang berbeda. Yaitu dari Kaju Tanam, Padang Pandjang dan menuju ke Sawah Loento. Rute ini paling direkomendasikan oleh Cluysenaer karena dianggap sebagai jalur yang menguntungkan. Butuh biaya sekitar F 19,4 juta untuk pengerjaan dan F 6 juta untuk biaya tambahan lainnya. Setelah mendengar ketiga laporan tersebut, pemerintah meerespon bila hasil penelitian yang dilakukan Cluysenaer sangat penting.

Setelah lapangan batubara ditemukan, masing-masing pihak memulai pengerjaan. Mr Van Diest, Baron Sloet sebagai wakil pemerintah Oldruytenborgh en Ruys mulai mengerjakan konsesi pembangunan rel untuk pengoperasian kereta api di wilayah batubara yaitu sepanjang Pandang Pandjang ke Brandy Bay. Sedangkan  Mr. D D Veth akan  mencoba menghubungkan antara kereta uap dari Padang dan pusat pemerintahan dengan kereta api kabel ke Brandy Bay. Sementara itu Menteri Van Eyk Sprenger menyatakan bahwa tambang batubara dan pembangunan jalur kereta api berikut pengoperasiannya tetap di tangan pemerintah. Jadi swasta berkesempatan untuk mengelola tambang batubara Ombilin namun pemerintah secara otomatis mengatur regulasi maupun keuntungan di area konsesi ataupun tender yang dianggap perlu. Peraturan ini ditetapkan oleh Keputusan No. 29 tanggal 20 Juli 1886. Sebelumnya hal ini pernah dibahas dalam pertemuan parlemen pada tanggal 17 dan 18 November 1885. Aturan ini dianggap pemerintah sebagai hal yang umum karena negara berhak mengatur sektor pertambangan batubara dan pembangunan kereta api.

Chief Engineer dari SS (Staatsspoorwegen) Mr JW Ijzerman yang lama tinggal di Belanda mencoba membuat draft awal biaya konstruksi yang diperlukan yaitu sekitar F 14,8 juta dimana laba yang akan didapat rata-rata F 631.500 atau 4 1/4% dari nilai konstruksi modal. Sementara Menteri Sprenger menilai perhitungan dana bagi pembangunan rel kereta api didapat dari tarif yang akan dikenakan batubara. Baginya yang terpenting adalah bagaimana rel kereta api tersebut segera dirancang dan dibangun. Hal ini karena pembangunan rel kereta akan memiliki nilai yang menguntungkan terutama untuk pengangkutan batubara yang tersembunyi di tepi Sungai Ombilin. Batubara adalah komoditas perdagangan yang sangat penting sehingga tentunya faktor pengiriman juga perlu disiapkan oleh Pemerintah.

Pemerintah sendiri sama sekali tidak keberatan dengan biaya pembangunan yang cukup besar. Oleh karena itu pada tanggal 30 Maret 1887, pemerintah menetapkan akan memulai membangun infrastruktur kereta api di Barat Sumatra yaitu dari Brandewljnsbaal (Pelabuhan Baru Teluk Bayur)- Padang Pandjang dan diteruskan hingga ke Fort de Kock dan Muara Kalaban. Selain itu juga dibangun 2 fasilitas pelabuhan di Brandy Bay.

Dalam nota penjelasan tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintah memperhatikan betul sarana kepentingan umum. Kedua adalah bagaimana pemerintah membuat aturan keras berupa larangan penambangan batubara secara ilegal di tambang batu bara Ombilin. Sedangkan yang ketiga di mana untuk menunjang pengangkutan batubara, mutlak diperlukan transportasi. Cara ini dilakukan agar operasional penambangan batubara kemudian hingga dikirim ke Brandy Bay dengan kereta api berjalan lancar.

Akhirnya sesuai dengan keputusan yang telah disetujui, pada tanggal 6 Juli 1887 (Staatsblad No. 163) diputuskan Mr JW Ijzerman diangkat sebagai Kepala Konstruksi proyek kereta api. Sebelumnya Mr JW Ijzerman pernah berperan besar dalam pembangunan kereta api di Jawa hingga akhirnya memutuskan kembali dan menetap di Belanda. Lalu sesuai dengan  keputusan No. 1/C tanggal 17 September 1887 ditetapkan SSS sebagai badan resmi pembangunan jalur kereta api di bawah kepemimpinan Kepala Insinyur dan bertanggung jawab terhadap Departemen Pekerjaan Umum Sipil. Sementara itu, pembangunan proyek dikendalikan penuh oleh Mr Cluysenaer dan PJ Van Houten.

Pada tanggal 18 Juni 1889, pengerjaan konsesi untuk eksploitasi tambang batubara Ombilin mulai dikerjakan. Pembangunan jalan kereta api oleh SSS dari Pulau Air (Pulau Aer) sampai ke Padang Pandjang sepanjang 71 Km selesai pada bulan Juli 1891. Kemudian diikuti rel sepanjang 19 Km dari Padang pandjang ke Fork de Kock selesai pada bulan November 1891. Tidak hanya itu, setahun berselang yaitu pada tanggal 1 Juli 1892, rel dari Padang Pandjang ke Solok sepanjang 53 Km selesai. Disusul jalur Solok- Muara Kalaban sepanjang 23 Km dan jalur pelabuhan yaitu Padang-Emmahaven (Teluk Bayur) sepanjang 7 Km. Kedua jalur ini selesai pada tanggal yang sama yaitu 1 Oktober 1892. Terakhir adalah jalur kereta api dari Muaro Kalaban-Sawahloento dengan menembus jalur berbukit dan berbatu (yang kemudian bernama Lubang Kalam) sepanjang hampir 1 Km (835 Meter) selesai pada 1 Januari 1894. Sementara itu, dasar hukum pembangunan jalur kereta api rute Fort kock-Pajacombo sepanjang 33 Km baru dikeluarkan pada tanggal 13 Juli 1895 (Staatsblad No. 211) dan ditargerkan selesai pada tanggal 15 September 1896.

Tabel Pengerjaan Proyek Kereta Api di Barat Sumatera:

1.      Pembuatan jalan kereta api dari Pulau Anyer (Pulau Air) sampai ke Padang Pandjang (71    Km) selesai dalam bulan Juli 1891,
2.      Padang Pandjang ke Fork de Kock/Bukittinggi (19 Km) selesai pada bulan November 1891,
3.      Padang Pandjang-Solok (53 Km) selesai pada 1 Juli 1892,
4.   Solok-Moera Kalaban (23 Km) dan Padang-Emmahaven/Teluk Bayur (7 Km) selesai pada tanggal yang sama  yaitu 1 Oktober 1892,
5.      Jalur kereta api dari Moeara Kalaban-Sawahloento (1 Km/835 Meter selesai pada 1 Januari 1894.

Ekspansi jalur kereta api kemudian mulai dilakukan pada tahun 1906. Dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1908, pembangunan jalur sepanjang 21 Km dan 14 Km membentang antara Loeboek Alang-Priaman dan Priaman-Soengai Limau (Dasar hukum tanggal 29 Desember 1906 Ind, Sb. Nomor 1907 16 dan 31 Desember 1908 Ind Stbl Nomor 1909 11) dilakuakan. Sementara jalur kereta api Pajacombo-Limbanang sepanjang 20 Km dan Muara Kalaban-Moearo sepanjang 26 Km selesai dan mulai digunakan pada tanggal 19 Juni 1921 dan Maret 1924. Pembangunan sendiri dimulai pada tanggal 1 Juni 1918. Secara umum, jalur sepanjang 284 Km menggunakan rel dengan lebar berukuran normal yaitu 1,067 meter.

Sawah Loento tahun 1900/KITLV
Selama periode operasi, ada rencana kembali membangun jalur kereta api jarak pendek misalnya dari lapangan batubara dengan pantai. Rencana ini pernah diumumkan pada tahun 1906. Selain itu ada rencana dari De Graeve untuk menghubungkan jalur antara Pantai Barat dengan Pantai timur Sumatera. Hal ini akhirnya dibahas oleh Chief Engineer SSS seperti jalur Ombilin pada tanggal 5 Maret 1905. Dalam laporan lain yang diterbitkan pada bulan Agustus 1908, jalur eksplorasi di tengah Sumatera dilakukan oleh Chief Engineer dari SS KJA Ligtvoet, di mana pembangunan diarahkan dari Moeara Kalaban ke Pakan Baru melewati Sungai Siak. Kemudian dari Soeliki-Pajacombo dan Pajacombo-Balar Pandjang berlanjut dari Sidempoean-Sibolga dan Padang Sidempoean-Penjaboengan dengan total panjang lebih dari 487 Km. Ditargetkan proyek ini akan selesai selama 10 tahun dan akan membutuhkan dana F 24 juta. Pada saat yang sama, Chief Engineer juga akhirnya menasionalisasi Perusahaan Kereta Api Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) dan konstruksi kereta api di Sumatera bagian Selatan. Selain itu juga mengincar kereta api di Sumatera Tengah. (bersambung)

Wiji Nurhayat

Wiji Nurhayat - Blogger yang menyukai perkembangan perkeretaapian di Indonesia, maniak trading & investasi, serta badminton lover.

Posting Komentar

Thanks for reading! Suka dengan artikel ini? Please link back artikel ini dengan sharing buttons di atas. Thank you.

Lebih baru Lebih lama