Cerita 'Kuburan Kereta' di Stasiun Purwakarta

Saat melintas perjalanan dengan menggunakan kereta api Argo Parahyangan, jurusan Jakarta-Bandung, tentu kita akan berhenti di Stasiun Purwakarta. Udara sejuk lantas dan suasana yang sepi menyapa para penumpang yang sekedar berhenti untuk melihat stasiun dari balik pintu gerbong kereta api.
Stasiun Purwakarta terletak pada ketinggian +84 m dan berada di Daerah Operasi II Bandung. Di pintu masuk stasiun terdapat patung Gatotkaca dan juga patung Prabu Siliwangi bersama keempat harimaunya. Dibalik suasana sepi dan nyaman yang ditawarkan Stasiun Purwakarta, kita akan disuguhkan dengan pemandangan gerbong-gerbong bekas yang terdapat di sisi sebelah kiri (arah Jakarta) atau tepatnya di bagian gudang Stasiun Purwakarta. Gerbong-gerbong bekas tersebut beraneka warna serta jenis dan ukuran. Tersusun rapi hingga bertingkat tiga.


Beberapa foto yang saya tampilkan adalah dokumentasi yang diterbitkan detik.com dengan sedikit editing di bagian warna. Bila kita melihat dengan mata telanjang sekalipun sungguh banyak gerbong kereta yang terparkir tidak lagi digunakan. Tidak heran banyak orang Purwakarta menyebut sebagai ‘kuburan kereta’. Gerbong kereta bekas itu pernah menjadi bagian dari berbagai macam jenis kereta seperti gerbong bekas KRL Rheostatik, BN-Holec, dan Hitachi. Selain itu ada pula gerbong bekas KRL AC seri Toyo Rapid 1000 dan Tokyo Metro 5000. Gudang kereta bekas yang biasa disebut oleh masyarakat setempat dengan sebutan ‘kuburan kereta’ api juga terdapat balok-balok kayu dan besi bekas rel yang sudah tak terpakai.
Baik KRL jenis Rheostatik, BN-Holec, dan Hitachi hingga seri Toyo Rapid 1000 dan Tokyo Metro 5000 pernah menjadi armada penting pengangkutan penumpang khususnya di wilayah Jabodetabek. Seperti KRL Rheostatik 1976 buatan Jepang tahun 1976. Secara Completely Built-Up (CBU), KRL ini dibangun dengan melibatkan banyak perusahaan yaitu Nippon Sharyo, Kawasaki Heavy Industries, dan Hitachi, Ltd. Misalnya KRL Rheostatik bisa dikatakan KRL jenis generasi pertama. KRL Rheostatik hadir di Indonesia pada tahun 1976 dan difungsikan sebagai pengganti KRL dan lokomotif listrik (termasuk ESS 3201) yang sudah ada sejak penjajahan Belanda. Secara spesifik, KRL yang terbuat dari jenis baja (mild steel) ini menggunakan 2 pintu geser dan tangga untuk memudahkan penumpang naik dan turun. KRL ini juga memiliki mesin yang cukup handal maka tidak heran KRL Rheostatik jarang bermasalah.


Sedangkan selanjutnya adalah keberadaan KRL Hitachi 1997. KRL jenis ini dibuat pada tahun 1997 di PT INKA bekerjasama dengan Hitachi. Dibuat sebanyak 64 unit (8 set) dengan teknologi VVVF. Kereta ini memiliki ciri yang khas yaitu ketika mulai bergerak sangat halus dan tidak menyentak. Jenis KRL ini adalah yang digunakan untuk Pakuan Ekspres kelas bisnis. Sementara itu, KRL BN Holec 1994 adalah KRL hasil kerjasama PT INKA dengan perusahaan Belgia-Belanda. KRL ini pertama kali dirakit tahun 1994 sebanyak 120 unit. Menurut catatan teknis, KRL Holec tergolong paling sulit dirawat. Selain karena masalah suku cadang yang susah dicari, KRL ini pun juga sering mengalami mogok karena kelebihan beban. Sehingga banyak KRL eks Holec yang rusak, dijadikan KRDE (Kereta Rel Diesel Elektrik) yang dioperasikan di beberapa kota di luar Jakarta. “Rekondisi” KRL Holec adalah KRDE yang dioperasikan di rute Yogyakarta-Solo (Prameks), dan Padalarang-Cicalengka (Rencang Geulis). Sekarang masih tersisa 4 set di Jabodetabek 1 Rangkaian = 2 Set.

Mmmm, kembali lagi ke ‘kuburan kereta’ di Stasiun Purwakarta, menurut penuturan banyak masyarakat, bila malam tiba penyinaran dari lampu kurang begitu mencukupi atau lebih cenderung terkesan gelap. Maka suasana angker sedikit banyak menjadi cerita masyarakat yang ‘wah’. Hingga pada akhirnya, keberadaan ‘kuburan kereta’ didengar langsung oleh Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Menurut penuturan masyarakat sekitar, Dedi akan menyulap gerbong-gerbong bekas ini menjadi tempat wisata kuliner. Dedi akan membuat tempat makan yang bergerak dari gerbong-gerbong kereta bekas ini. (ide yang cemerlang). Memang sudah selayaknya, gerbong-gerbong bersejarah ini dikelola dengan sebaik-baiknya oleh pihak terkait tidak terkecuali PT Kereta Api Indonesia (Persero). Bukan tidak mungkin, dari onggokan gerbong KRL yang menjadi bangkai bisa menjadi bisnis pariwisata yang menjanjikan. Pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Purwakarta juga pastinya akan bertambah. Namun perlu diingat, Dedi harus menggelontorkan investasi guna menghidupkan kembali ‘kuburan kereta’ menjadi tempat yang bersahabat bagi masyarakat dan menciptakan roda perekonomian Purwakarta.
Wiji Nurhayat

Wiji Nurhayat - Blogger yang menyukai perkembangan perkeretaapian di Indonesia, maniak trading & investasi, serta badminton lover.

2 Komentar

Thanks for reading! Suka dengan artikel ini? Please link back artikel ini dengan sharing buttons di atas. Thank you.

  1. Yth Mas Wiji,
    Apabila memungkinkan, saya ingin mendapatkan salah satu foto terbaik dari liputan mengenai kuburan kereta api ini untuk keperluan publikasi (penyusunan buku mengenai sejarah infrastruktur di Jakarta).Terima kasih sebelumnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Mas setiadi, terima kasih telah mengunjungi website saya. Untuk foto hanya ada seperti yang ditampilkan. Karena stok foto lainnya sudah pada hilang karena tersimpan di laptop lama yang telah hilang. Monggo silakan dipergunakan Mas.

      Hapus
Lebih baru Lebih lama